Selasa, 14 Desember 2010

cloning

Kloning Manusia: Mengapa Amoral?
oleh: Romo William P. Saunders *
Bagaimanakah seharusnya kita sebagai umat Katolik menanggapi segala pemberitaan mengenai Dolly si domba betina dan kloning,?
~ seorang pembaca di Arlington

Dolly si domba betina memang menjadi berita utama di media massa di seluruh dunia. Dr Ian Wilmut, seorang ilmuwan Skotlandia yang bertanggungjawab atas riset ilmiah dan teknik kloning ini, mengambil sebuah sel telur dari seekor domba betina, mengeluarkan nukleus (= inti sel) dengan segala DNAnya yang unik, dan lalu meleburkan sel telur dengan sebuah sel (dengan DNAnya sendiri) dari donor. Teknik ini menghasilkan seekor domba betina yang dinamai Dolly, yang secara genetik identik dengan donornya. Kemudian muncullah pertanyaan, “Jika ini dapat dilakukan pada hewan, mengapa tidak pada manusia?” Sementara kita mungkin memiliki teknologi “untuk melakukan” sesuatu, kita tidak harus memiliki mandat moral “untuk melakukan” sesuatu itu. Kita wajib berpegang pada prinsip-prinsip kebenaran dasar. (Ajaran paling seksama dan mendalam mengenai masalah ini adalah “Hormat terhadap Hidup Manusia Tahap Dini dan Martabat Prokreasi” [Donum Vitae], yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman pada tahun 1987 dengan persetujuan Paus Yohanes Paulus II.)

Kita patut senantiasa ingat dengan apa, atau tepatnya dengan siapa, kita berhadapan apabila kita berbicara mengenai reproduksi - yakni seorang anak. Gereja Katolik secara konsisten menegaskan bahwa seorang manusia wajib dihormati sebagai pribadi sejak dari saat awal pembuahan, yakni saat paling awal dari keberadaannya. Setiap pribadi diciptakan seturut gambar dan citra Allah, dan sebab itu memiliki martabat hakiki melampaui segala makhluk ciptaan lainnya. “Declaratio de abortu procurato” (= Pernyataan tentang Aborsi, 1974) memaklumkan, “Dengan pembuahan sel telur mulailah hidup baru, yang bukan hidup ayah dan bukan hidup bunda, melainkan hidup makhluk baru, yang tumbuh sendiri. Tak pernah ia menjadi manusia jika ia tidak sudah manusia sejak semula. Genetika modern memberikan peneguhan yang berharga kepada kejelasan yang sudah selalu ada…. Ia menunjukkan bahwa sejak saat pertama sudah ditetapkan, apa jadinya hidup ini: manusia, yakni manusia individual dengan sifat-sifat khas dan tertentu. Sejak pembuahan mulailah proses pertumbuhan hidup manusia yang mengagumkan; dan setiap kemampuannya membutuhkan waktu untuk berkembang dengan baik dan berfungsi” (No. 12-13). Di samping itu, kita percaya bahwa Tuhan yang Mahakuasa menciptakan dan menanamkan suatu jiwa yang abadi, yang sungguh memberikan kepada masing-masing kita identitas sebagai yang diciptakan seturut gambar dan citra-Nya.

Sebab itu, kita wajib menghormati seorang anak yang belum dilahirkan sebagai seorang pribadi yang hidupnya sakral dan yang hak-haknya wajib dilindungi. Seorang anak mempunyai hak yang tak dapat diganggu gugat untuk hidup, sejak dari saat pembuahan hingga kematian yang wajar. Seorang anak mempunyai hak untuk dihormati sebagai pribadi sejak dari saat pembuahan. Seorang anak mempunyai hak untuk menjadi “buah” tindakan khas kasih orangtuanya, yang terikat dalam perkawinan.

Paus Yohanes XXIII, dalam ensiklik “Mater et Magistra” memaklumkan, “Penyaluran hidup manusiawi merupakan buah tindakan antar-pribadi dan sadar, dan justru karena itu harus mematuhi hukum-hukum Allah yang kudus, tidak boleh dilanggar dan tidak dapat diubah; tidak seorang pun boleh mengabaikan atau melanggarnya.” Dan yang terakhir, seorang anak mempunyai hak untuk dilahirkan. Masing-masing dari kita memikul tanggung-jawab untuk membela hak-hak ini bagi anak yang tak berdaya. Janganlah pernah kita tergelincir ke dalam pemikiran bahwa siapapun berhak untuk mendapatkan anak bagaimanapun caranya, atau bahwa seorang anak adalah bagaikan sebuah obyek kepemilikan (“Donum Vitae,” II,8).

Berdasarkan hak-hak seorang anak ini, Gereja menyampaikan ajaran moral berikut, yang secara istimewa membahas masalah kloning dan tindakan-tindakan sehubungan dengan teknik kloning:

-  Prosedur-prosedur yang dimaksudkan untuk intervensi pada warisan genetik seorang anak, yang tidak bersifat terapeutis, adalah salah secara moral. Upaya untuk memperbaiki suatu penyimpangan genetik, misalnya cystic fibrosis, secara moral diperkenankan, sementara memanipulasi struktur genetik untuk membuahkan manusia yang dipilih menurut jenis kelamin atau sifat-sifat lain yang ditentukan sebelumnya adalah salah. Upaya untuk menghasilkan “pembiakan” manusia melalui kloning, pembelahan anak kembar (= fixio gemellaris) atau parthenogenesis di luar konteks perkawinan atau pasangan orangtua adalah amoral. Manipulasi-manipulasi ini melanggar martabat pribadi manusia dan menyerang integritas serta identitas manusia. (bdk. Donum Vitae, I,6.)

-  Segala pengadaan manusia demi kepentingan eksperimen, riset ilmiah, atau demi mendapatkan organ-organ tubuh adalah salah secara moral. Tindakan-tindakan yang demikian merendahkan derajat manusia ke sekedar material biologis yang dapat dibuang. (bdk. Donum Vitae, I,5.)

-  Riset atau penelitian medis macam apapun yang membahayakan kesehatan atau hidup seorang anak yang belum dilahirkan adalah salah secara moral. (bdk. Donum Vitae, I,5.)


Bahaya kloning adalah kita mudah kehilangan pandangan akan martabat manusia, dan kesakralan tindakan kasih suami-isteri dalam perkawinan. Kita terjerumus ke dalam suatu pandangan egois menciptakan kerajaan kita sendiri, dan bukannya berjuang demi hidup dalam kerajaan Allah. Ketika Dolly muncul dalam berita-berita utama, Wall Street Journal mencetak suatu artikel berjudul, “Siapakah yang Akan Meraup Laba dalam Terobosan Kloning?” Jawabnya adalah “perusahaan yang memiliki tekniknya.” Dari sudut pandang moneter murni, pasar organ tubuh akan menjadi kenyataan.

Sebagai contoh, mari kita renungkan suatu peristiwa yang telah lewat, yang terjadi sebelum masalah kloning ini: Pada tahun 1991, Anissa Ayala, 19 tahun, yang menderita leukemia, menerima transplantasi sumsum tulang dari saudarinya yang berusia 13 bulan, Marissa, yang dengan sengaja dikandung untuk menjadi donor sumsum tulang. Sementara masih dalam rahim, para dokter menganalisa jaringan tubuh Marissa guna menentukan apakah ia akan dapat menjadi seorang donor yang cocok bagi kakaknya. Pertanyaan moral yang mendasari tindakan ini meliputi, “Bagaimanakah jika jaringan tubuh Marissa tidak cocok dengan jaringan tubuh saudarinya? Apakah ia akan diaborsi, dan apakah kedua orangtuanya lalu akan berusaha untuk mengandung seorang donor lain yang sesuai?” Dr Robert Levine dari Yale University School of Medicine menyampaikan pendapatnya, “Menurut saya, apabila motif utama dari mengandung seorang anak adalah demi mendapatkan suatu jaringan atau organ tubuh, maka kita sudah sangat dekat dengan pandangan melihat makhluk baru ini sebagai suatu sarana bagi kepentingan yang lain.” Dengan kloning, moralitas menjadi semakin kabur, sebab kita dapat menghasilkan manusia lain seperti diri kita sendiri, mengambil organ tubuhnya (bahkan sementara ia masih dalam rahim atau dengan kelahiran parsial), dan kemudian membinasakan sisanya. Lagipula, mendapatkan organ dengan cara demikian hanya tinggal selangkah lagi saja dari kloning. Bagaimana dengan mengembangkan suatu ras manusia unggulan atau bahkan suatu balatentara unggulan?

Dilema iman lainnya menyangkut jiwa. Bahkan jika kita dapat mengkloning seorang manusia, kita tidak dapat “mengkloning” jiwa. Dua orang mungkin dapat identik secara genetik, namun demikian jiwa mereka menjadikan mereka unik, bahkan berbeda sama sekali dalam kepribadian. Kita juga patut bertanya, “Jika reproduksi direnggut dari sarana-sarana lazim seperti yang telah dirancangkan Tuhan, maka haruskah Tuhan menanamkan jiwa?” Mungkin kloning hanya akan menghasilkan humanoids [= makhluk serupa manusia] atau androids [= robot serupa manusia] - replika-replika manusia tanpa jiwa yang dapat diperbudak. Jawab atas pertanyaan-pertanyaan ini sendiri adalah bagaikan membuka kotak Pandora [= seorang perempuan dalam mitologi Yunani yang dikirim oleh dewa-dewa dengan dibekali satu kotak penuh kejahatan].

Saya sungguh ngeri akan apa jadinya teknologi ini. “Hallo Dolly” dapat berarti “Selamat tinggal, Kemanusiaan.” Situasinya mengingatkan kita pada kisah Taman Eden: Teknologinya ada, tetapi beranikah kita mempergunakannya dengan beresiko kehilangan firdaus? Mungkin Huxley's Brave New World atau Wells' Island karya Dr Moreau bukan sekedar fiksi belaka, melainkan juga nubuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar